Pathetic Waltz: Terbayangkan Kembali?
Mojogedang hujan deras. “Manut,” begitulah Ipul—gitaris Doze Club, membalas pesan saya. Akhirnya dengan mengenakan jas hujan rembes, kami nekat melibas jalanan menuju ke Solo. Perjalanan yang lazim ditempuh satu jam, senyatanya mesti membutuhkan tambahan tigapuluh menit. Malam itu, tujuan kami hanya satu: Studio Lokananta. Di sana, band dari tempat kami tinggal, Karanganyar, yang konon sudah tujuh tahun bubar kembali ke atas panggung.
Usai menyandarkan motor, kami melepas sandal jepit cap burung terbang yang kami pakai. Dalam sekejap alas kaki kami berganti sepatu. Kami berjalan cepat, takut bilamana pertunjukan sudah digelar. Lorong Lokananta yang selalu padat anak-anak muda berkaus band itu, kami lewati macam orang sedang dikejar sesuatu.
Menurut penjaga pintu studio, Pathetic Waltz masih mempersiapkan diri. Kami istirahat di Pendapa Lokananta sebentar, menunggu napas kami yang menggeh-menggeh kembali normal. Selain di studio, ternyata di lapangan juga ada panggung. Namun, kami urung mendekat. Menurut mas-mas yang duduk di sebelah kami, di sana band-band dari Solo juga sedang mempresentasikan diri.
“Enek Soloensis ning kana, Mas,” jelas mas-mas itu sembari menunjuk panggung.
“Ten dalem studio nggih wonten Pathetic Waltz, nate mireng, Mas?” sahut Ipul.
Mas-mas itu hanya mengangguk saja, seolah menjelaskan bahwa memang tahu di studio ada pertunjukan pula.
“Apa dia tahu Pathetic Waltz?”
“Coba tanya,” Ipul menjawab pertanyaan saya sembari mesem.
Saya biarkan menguap saja jawaban Ipul itu. Usai menukar gelang, kami memasuki Studio Lokananta. Pathetic Waltz sedang bersiap. Jarak mereka dengan penonton tanggal akan keberadaan barikade. Suasana menjadi intim. Pathetic Waltz: dor! Menghajar panggung!
Semua berdiri. Menikmati suguhan khas Karanganyar yang hanya mungkin ditemui ketika semua orang sudah tidur: teh jayeng Mbah The Nguk, Tasikmadu. Meski berulang kali Alta—vokalis—menjelaskan jika mereka sudah menjadi bapak-bapak, energinya tak surut. Pertanda bahwa mereka benar-benar warga lereng Lawu.
Pathetic Waltz: Lintasan Bayang-Bayang
Terbentuk tahun 2012, Pathetic Waltz membawa warna baru dalam geliat musik di eks-Karesidenan Surakarta. Masa itu, komunitas musik sedang bertumbuh. Beragam tempat yang dijadikan venue sampai kini masih ada yang eksis digunakan atau sudah mati: Auditorium STIE AUB, Kafe Persada, Gedung Jati Jaten, GOR Manahan, Lokananta, dan sebagainya.
Karanganyar pun turut meramaikan tempat itu melalui band-band seperti Bankeray, Burning Angel, Vaginal Mutilation, GendarPecel, OBI, Baby Horny, Termite, Polymath, Rotting Cadaver, Night Before Sunday, Glory of Arupadatu, Lelembut, Kantil Kuning, dan masih banyak lagi. Namun, kini di tengah kembalinya gairah musik di eks-Karesidenan Surakarta, dari sekian nama itu hanya beberapa yang masih meramaikan panggung.
Keputusan Pathetic Waltz kembali manggung 30 November 2024 lalu tentu menarik kembali memori saya semasa sekolah, sekaligus mengantar saya pada semangat teman-teman yang hari ini kembali memanaskan mesin di Karanganyar. Sebut saja Doze Club atau Wildcrash yang—seharusnya—jadi rasan-rasan di tongkrongan.
Lalu, bagaimana Pathetic Waltz di Studio Lokananta? Tepuk tangan terdengar padat di setiap jeda lagu menuju berikutnya. Andai harus membandingkan suasana, pendingin ruangan takluk dengan kehangatan yang terbentuk di antara penonton. Hiduplah malam itu, dengan penuh kebahagiaan.
Kecuali operator musik, tidak satu pun orang ada yang duduk selama tujuh lagu dimainkan. Alta mengatakan di tengah jeda antarlagu, “Kamilah band pertama yang mengunggah lagu di Spotify, ketika di Indonesia belum ada yang mendengarnya.” Lagu yang dimaksud ialah single Malam (2014). Hal itu membuat riuh, dan ada penonton yang berteriak “Ngentul, kuwi!”
Sebagian orang yang menikmati malam itu barangkali memang datang karena sebelumnya kenal Pathetic Waltz atau memang penasaran siapa orang-orang yang manggung itu. Maklum, Pathetic Waltz sudah lama tidak muncul di publikasi gigs. Meski kita tahu, malam itu pemisahan orang baru dan lawas lenyap begitu saja, Pathetic Waltz mengambil peran dalam intensitas nyata: musik untuk dinikmati siapa pun.
Energi yang tampak dari setiap personel menunjukkan kalau mereka masih mampu menguasai panggung seperti semangat petarung di oktagon UFC, apabila terlalu jauh pembandingnya minimal ring Pencak Dor. Sebab, sejak lagu pembuka She Like Pretty Owl hingga lagu penutup Creed, mereka benar tampil maksimal.
Seraya itu, ketika Plastik Bekas didengungkan, senyatanya Pathetic Waltz enggan surut dalam mewartakan eksploitasi lingkungan yang berlebihan. Beberapa kali, Alta menyinggung perubahan lereng Lawu yang pada mulanya sejuk, karena pembangunan yang berlebihan, kini justru yang terjadi sebaliknya. Melalui mesin pencari kita tahu, baik pemberitaan maupun penelitian bahwa daerah resapan di lereng Gunung Lawu begitu berkurang.
Sedemikian rupa mereka berupaya membawa wacana yang barangkali hanya berkelindan di ruang pojok: angkringan, trotoar, maupun kedai kopi. Mereka mencoba membawa apa yang terjadi di sekitarnya menjadi semakin dekat, agar dibicarakan. Karena dengan begitu, setidaknya peringatan-peringatan kecil terus muncul.
Satu jam Pathetic Waltz mempresentasikan diri terasa begitu cepat. Ujaran penutup telah mereka lontarkan. Namun, mungkinkah mereka berkenan kembali seutuhnya sebagai band? Mewarnai kembali panggung-panggung yang ada? Pertanyaan itu terlontar begitu saja. “Ya, terserah mereka, Mas,.” Ipul menyahut sekenanya pertanyaan itu ketika kami kembali ke parkiran.
Malam yang tiada penyesalan. Bayang-bayang ketika saya masih SMA mendatangi pensi-pensi kembali berkelindan. Saat di mana saya tahu, ternyata di tempat saya tumbuh banyak sekali band yang membersamai. Pathetic Waltz, adalah salah satunya. Meski pengidealan semacam itu juga tidak bisa mengembalikan waktu.
Obrolan dengan Ipul di atas motor ketika pulang terus berlanjut. Gara-gara Pathetic Waltz, membicarakan geliat musik di Karanganyar terbentur kata kunci: nostalgia. Akhiran pertanyaan yang tidak terjawab itu semenjana, mungkinkah Pathetic Waltz dapat kembali menjadi pemantik geliat permusikan di Karanganyar. Sajian mereka di Studio Lokananta malam itu rasanya akan terkenang.
Tentang Penulis
0 comments